Rabu, 17 Juli 2013
HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Hukum Pidana Islam
Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketenytuan hokum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal (malawan hukum) yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman dari dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Qur’an dan Hadist.
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. syari’at Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksankannya. Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain
1. Jinayah menurut abdul qadir audah adalah perbuatan ang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa,harta benda, atau lainnya. Jarimah menurut al mawardi adalah larangan syara’ yang diancam oleh allah dengan hukuman had dan ta’zir. Hukum had adalah hukuman yang telah dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul. Sedangkan hukum ta’zir adalah hukuman yang tidak dipastikan ketentuannya dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hukumam ta’zir menjadi wewenang penguasa untuk menentukannya.
2. Jarimah (ar: al-jarimah = delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana). Perbuatan yang dilarang syarak dan pelakunya diancam oleh Allah dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syarak kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syarak adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syarak atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syarak bagi yang meninggal.
3. Fikih Jinayah. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (al-jinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu, jinayah bersifat umum, meliputi seluruh perbuatan pidana. Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah “fikih jinayah” sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad.
4. Al-Qanun al-Jaza’i. Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jaza’i disebut juga al-qanun al-‘uqubat (dari kata al-‘uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam, pembahasan al-qanun al-jaza’i termasuk kedalam ruang lingkup fikih jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain.
5. Ruang Lingkup. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jaza’i mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, kisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.
6. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan) adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38); zina (QS.24:2); dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas.
7. Kisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan macamnya oleh Allah, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Kisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (kisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178).
8. Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan sunah, pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan kisas/diat. Sebagai ‘ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas.
Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini. Pertama, asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut kebelakang. Artinya, tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas al-Qur’an maupun as-Sunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam.
B. Sumber Hukum Pidana Islam
1. Al Qur’an
Al Qur’an adalah sumber ajaran islam yang pertama, memuat kumpulan wahyu-wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Al Hadist
Merupakan sumber ajaran islam yang ke dua dari sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab penjelasan yang berada di Al Qur’an masih bersifat umum oleh karena itu dismpaikan melalui sunah Rasull/Hadist.
C. Unsur-unsur Hukum Pidana Islam
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai jarimah(tindak pidana), jika ada unsur formil (adanya UU/alquran dan hadis), materiil(sifat melawan hukum) dan unsure mural (pelakunya mukallaf) atau biasa bertanggung jawab terhadap tindakannya, sebuah pelanggaran tidak memenuhi unsur-unsur tersbut maka tidak dapat dikatakan jarimah(tindak pidana). Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normative dan moral, sebagai berikut:
1. Unsur Yuridis Normatif
Unsur ini harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman.
2. Unsur Moral
Adalah kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggung jawabkan
D. Subyek dan Obyek Hukum Pidana Islam
1. Subyek Hukum
Dalam dunia hukum, subyek hukum dapat diartikan sebagai pembawa hak, yakni manusia dan badan hukum.
a. Manusia (naturlife persoon)
Menurut hukum, tiap-tiap seorang manusia sudah menjadi subyek hukum secara kodrati atau secara alami. Anak-anak serta balita pun sudah dianggap sebagai subyek hukum. Manusia dianggap sebagai hak mulai ia dilahirkan sampai dengan ia meninggal dunia. Bahkan bayi yang masih berada dalam kandungan pun bisa dianggap sebagai subyek hukum bila terdapat urusan atau kepentingan yang menghendakinya. Namun, ada beberapa golongan yang oleh hukum dipandang sebagai subyek hukum yang "tidak cakap" hukum. Maka dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum mereka harus diwakili atau dibantu oleh orang lain.
b. Badan Hukum (recht persoon)
Badan hukum adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status "persoon" oleh hukum sehingga mempunyai hak dann kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
2. Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik.
Benda itu sendiri dibagi menjadi :
a. Berwujud / Konkrit
1) Benda bergerak
a) bergerak sendiri, contoh : hewan.
b) digerakkan, contoh : kendaraan.
2) Benda tak bergerak, contoh tanah, pohon-pohon dsb.
b. Tidak Berwujud/ Abstrak contoh gas, pulsa dsb.
D. Hak – Hak Yang Berkaitan Dengan Hukum Pidana Islam
1. Hak Allah dan Hak Manusia, (Ar.: al-haqq Allah; dan al-haqq al-‘ibad). Secara etimologi mengandung pengertian yang banyak dan bermacam-macam, namun semuanya mengacu kepada arti ketetapan dan kepastian, seperti milik, bagian, keadilan, kewenangan, kebenaran, dan lain-lain.
Ulama fikih menyatakan bahwa al-haqq (hak) merupakan hubungan spesifik antara pemegang atau pemilik hak dan kemaslahatan yang diperoleh dari hak itu. Hubungan tersebut dalam syariat Islam tidak bersifat alamiah, yang bersumber dari alam atau ketetapan akal manusia. Sumber hak adalah Allah SWT, karena Allah SWT adalah pembuat syariat, undang-undang dan hukum atas manusia dan seluruh alam. Oleh karena itu, hak selalu terkait dengan kehendak Allah SWT dan merupakan pemberian-Nya, yang dapat diketahui berdasarkan sumber hukum Islam itu sendiri, yaitu Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
2. Pembagian Hak. Ditinjau dari segi kepemilikannya, hak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) hak Allah SWT murni; 2) hak manusia murni; 3) hak yng didalamnya tergabung hak Allah SWT dan hak manusia, namun hak Allah SWT lebih dominan; dan 4) hak yang di dalamnya tergabung dua hak tersebut, namun hak manusia lebih doninan.
3. Hak Allah Murni, ialah sesuatu yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengagungkan-Nya, dan menegakkan syiar agama-Nya; atau sesuatu yang dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan, manfaat, dan kemaslahatan orang banyak tanpa kekhususan pada orang tertentu. Hak tersebut dinisbahkan kepada Allah SWT, karena besarnya kepentingan hak itu dan keumuman manfaatnya. Dengan kata lain, hak tersebut merupakan hak masyarakat dan pensyariatan hukumnya dimaksudkan untuk kemaslahatan umum, hukan untuk kemaslahatan inidividu secara khusus. Hak tersebut bertalian dengan ketertiban umum.
Menurut Mazhab Hanafi, hak Allah SWT ini dapat dikelompokkan pada delapan macam sebagi berikut.
a. Ibadah murni, seperti iman, mengucapkan dua kalimat syahadat, salat lima waktu sehari semalam, puasa bulan Ramadan, Zakat harta, dan haji di Baitullah. Ibadah tersebut dimaksudkan untuk menegakkan syiar agama dan sekaligus untuk menjaga ketertiban dan keteraturan masyarakat.
b. Ibadah yang mengandung makna ma’unah, yakni pertolongan ynag diberikan untuk memelihara jiwa dan harta. Misalnya, zakat fitrah disebut ibadah, karena dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan bentuk memberi pertolongan kepada fakir miskin. Oleh karena itu, untuk menunaikan ibadah semacam ini disyaratkan niat. Makna ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
c. Ma’unah (pertolongan) yang mengandung makna ibadah, seperti mengeluarkan sepersepuluh atau seperduapuluh dari hasil bumi. Pengeluraran ma’unah tersebut merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil tanah yang tetap produktif di tangan pemiliknya.
d. Ma’unah yang mengandung makna hukuman (uqubah) seperti pengenaan pajak atas nonmuslim. Pengenaan pajak tersebut dimaksudkan sebagai imbalan terhadap tanah produktif yang tetap mereka garap dan terpelihara dari berbagai bentuk kezaliman. Ma’unah sebagai hukuman merupakan ganti rugi atas kewajiban jihad yang tidak dibebankan kepada mereka.
e. Uqubah (hukuman) murni, seperti hukuman terhadap pelaku perzinaan, pencurian, meminum minuman keras, dan lainnya. Hukuman tersebut merupakan hak Allah SWT murni, karena persyaratannya dimaksudkan untuk memaslahatan umum dan menjaga ketertiban masyarkat. Oleh karena itu, hukuman tersebut tidak dapat digugurkan atau dimaafkan oleh siapapun dan dilaksanakan oleh lembaga pengadilan sebagai kepanjangan tangan pemerintah.
f. Hukuman terbatas, seperti terhalangnya seorang pembunuh dari hak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. Terhalangnya hak mewarisi itu merupakan bentuk hukuman sebagi pembalasan terhadap pembunuhan yang dilakukannya. Hanya saja balasan itu tidak terkait deng fisik pembunuh atau pengurangan harta bendanya. Hukuman ini merupakan hak Allah SWT , karena dimaksudkan untuk kepentingan umum dan memelihara ketertiban, yaitu mencegah ketamakan untuk memeperoleh harta warisan dan pewarisnya sebelum saatnya tiba.
g. Hukuman yang mengandung makna ibadah, yaitu semua hak yang berkisar antara ibadah dan hukuman, seperti kafarat sumpah, kafarat zihar (menyamakan istri dengan ibu kandung), kafarat membunuh karena tersalah dan lainnya. Sisi ibadah dalam kafarat-kafarat itu lebih kuat. Kecuali kafarat berbuka puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa alasan syar’i; untuk kafarat ini sisi hukuman lebih menonjol. Hak Allah SWT tersebut mengandung makna ibadah karena dilaksanakan dalaam benutk ibadah, seperti berpuasa, memerdekakan hamba sahaya, atau memberi makanan kepada fakir miskin yang harus dilaksanakan langsung oleh seseorang yang melakukan pelanggaran tersebut sebagimana dalam ibadah pada umunya. Kandungan makna hukuman pada hak ini terletak pada kewajibannya sebagai balasan terhadap perbuatan yang dilanggarnya supaya tidak diulanginya kembali. Oleh karena itulah, hukuman tersebut disebut kafarat, artinya penutup atau penghapus dosa.
4. Hak Allah SWT yang berdiri sendiri, tidak bertalian dengan tanggung jawab manusia sebagai hamba-Nya yang wajib dilaksanakan sebagai kepatuhan kepada-Nya . Hak tersebut di antaranya seperlima hasil rampasan perang (ganimah), harta karun yang terpendam yang ditemukan, dan hasil penambangan. Pengeluaran hak Allah SWT tersebut tidak disyaratkan niat, karena tidak termasuk ibadah. Harta yang seperlima tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan kesepakatan ulama fikih, hukum yamg terkait dengan hak-hak Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut Pertama, tidak boleh digugurkan, baik dengan pemaafan, perdamaian, atau pelepasan hak itu. Hak tersebut juga tidak boleh diubah, baik dengan pengurangan atau penambahan atau penggantian dalam bentuk lain. Oleh karena itulah hukuman pencurian tidak dapat gugur disebabkan adanya maaf dari orang hartanya dicuri, atau tercapainya perdamaian antara pencuri dengan pemilik harta setelah perkaranya diajukan ke muka hakim .
Kedua, hak tersebut tidak dapat diwarisi. Ahli waris tidak berkewajiban melaksanakan hak-hak Allah SWT yang tidak dikerjakan oleh pewarisnya sebelum meninggal dunia, kecuali apabila pewaris telah mewasiatkan untuk mengeluarkannya, seperti wasiat untuk mengeluarkan zakat yang belum dibayarnya. Ahli waris juga tidak bertanggung jawab atas tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh pewarisnya .
Ketiga, berlaku keterpaduan antara hukuman yang menjadi hak Allah SWT. Seseorang yang berzina beberapa kali atau mencuri berkali-kali, namun belum dikenakan hukuman, maka cukup dihukum sekali saja atas dosa-dosanya yang berkali-kali itu, karena maksud hukuman itu adalah membuatnya jera dan tidak kembali mengerjakan kejahatannya. Tujuan itu dapat terwujud dengan hukuman sekali saja. Pelaksanaan hukuman tersebut adalah kewenangan pemerintah .
Hak Manusia, yaitu suatu hak yang di maksudkan untuk memelihara kemaslahatan dan kepentingan perorangan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Hak yang bersifat umum, seperti pemeliharaan kesehatan anak dan harta benda, serta terwujudnya keamanan dan penikmatan sarana umum milik agama. Hak yang bersifat khusus, seperti hak penjual menerima pembayaran atas barang yang dijualnya, hak pembeli atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang dibelinya, hak seseorang untuk mendapatkan ganti rugi atas harta bendanya yang dirusak orang lain, hak istri untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin dari suaminya, hak ibu untuk memelihara anaknya yang masih kecil (hadlanah), hak bapak untuk menjadi wali anaknya, dan lain sebagainya.
Hukum yang terkait dangan hak manusia ini, antara lain ialah pemiliknya dibolehkan melepaskan dan mengugurkan haknya dengan cara pemaafan, perdamaian atau membebaskan tanggungan atas seseorang, atau membolehkannya kepada siapapun. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hak ini merupakan kezaliman. Allah SWT tidak akan menerima tobat seseorang yang melanggarnya kecuali pemilik hak memaafkanya atau hak itu dikembalikan oleh pelanggar kepadanya. Pada hak ini berlaku pewarisan oleh keluarga dekatnya sesuai aturan yang berlaku dalam hukum waris. Kemudian tidak berlaku keterpaduan pada hak ini. Maksudnya hukum yang terkait dengan hak perseorangan berlaku secara ketat, tidak ada penggabungan dan pemenuhan hak itu berkaitan langsung dengan pemilik hak atau walinya.
5. Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak Allah SWT lebih dominan. Misalnya, iddah perempuan yang di ceraikan. Di dalamnya terdapat hak Allah SWT yang berbentuk kepentingan dan kemaslahatan umum, yaitu memelihara nasab (keturunan) secara umum dari percampuran. Adapun hak manusia yang ada di dalamnya ialah pemeliharaan kemurnian anak mantan suami secara khusus dari percampuran dengan nasab orang lain jika mantan istri kawin dengan laki-laki lain sebelum habis masa iddahnya. Hak Allah SWT dalam hal ini lebih dominan, karena pemeliharaan nasab secara umum berkaitan langsung dengan persoalan sosial, tatanan, dan ketertiban. Kemaslahatan yang terkait adalah pemeliharan masyarakat dari berbagai kekacauan dan dekadensi. Contoh lain ialah poemeliharaan manusia terhadap kehidupanya, akalnya, kesehatannya, dan harta bendanya. Didalamnya juga terdapat dua hak namun hak Allah SWT lebih dominan, karena keumuman manfaat pemeliharaan itu kembali pada masyarakat secara keseluruhan. Adapun hukum yang terkait dengan hak-hak ini sama dengan hak Allah SWT lebih dominan.
6. Hak yang di dalamnya tergabung Hak Allah SWT dan Hak Manusia, namun Hak manusia lebih dominan. Misalnya, adalah kisas (pembunuhan) terhadap pembunuh dalam pembunuhan sengaja. Adanya kemaslahatan umum dalam kisas, yaitu memelihara darah, menjaga keamanan, dan memperkecil tindak pidana dan kejahatan, maka kisas merupakan hak Allah SWT. Sebagai hak manusia, kisas mewujudkan kemaslahatan wali orang yang terbunuh, menyembuhkan sakit hatinya, serta memadamkan api kemarahan dan dendamnya terhadap pembunuh. Syariat islam memandang aspek ini lebih berat, sehingga hak manusia dianggap lebih dominan dan hak Allah SWT. Oleh karena itu, wali korban sebagai pemilik hak, disamping berhak menuntut kisas, diperkenankan untuk memaafkan pembunuh sehingga hukuman kisas tidak dilaksanakan. Selajutnya mereka dapat berdamai dengan pembayaran diat (tebusan/denda), bahkan hal ini dianjurkan oleh Allah SWT dalam Q.S. al-Baqaarah (2) ayat 178:
“…Maka barang siapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula…”
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana di antara dua hak itu yang lebih dominan, ketika nas tidak menejelaskannya. Misalnya hukuman terhadap tindak pidana qazf (menuduh orang lain berbuat zina) merupakan hak Allah SWT jika dilihat dari segi kemanfaatan dan kemaslahatan umum yang ada di dalamnya, yaitu memelihara kehormatan manusia pada umumnya dan memberantas kerusakan dan kejahatan dalam masyarakat. Kemudian ditinjau dari segi menolak aib orang yang dituduh berbuat zina dan mengembalikan kehormatannya, maka hukuman itu merupakan hak manusia perseorangan
Menurut ulama Mazhab Hanafi, dalam kasus seperti ini, hak Allah SWT lebih nyata dan dominan. Oleh karena itu, hukumannya tidak dapat digugurkan disebabkan kemaafan yang diberikan oleh yang dituduh, sementara pelaksanaanya berada di tangan pemerintah, yaitu lembaga peradilan. Namun, menurut Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, dan satu riwayat dari Imam Malik, dalam kasus qazf ini hak manusia lebih dominan. Oleh karena itu, hukumannya dapat digugurkan oleh pemaafan orang yang dituduh berzina.
7. Hak Asasi Manusia. Dalam bahasa Indonesia hak asasi dijelaskan sebagai hak yang dasar atau pokok, seperti hak hidup dan hak mendapat perlindungan. Ide hak-hak asasi manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-18, sebagai reaksi terhadap keabsolutan raja-raja dan kaum feodal di zaman itu tehadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Lapisan bawah tidak mempunyai hak-hak. Mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang, sebagai budak yang dimiliki. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang ini, timbullah gagasan supaya lapisan bawah itu-karena mereka adalah manusia juga diangkat derajatnya dari kedudukan budak menjadi sama dengan lapisan atas. Muncullah ide untuk menegakkan hak-hak asaasi manusia (HAM). Semua manusia sama, tidak ada budak yang dimiliki; semua merdeka dan bersaudara.
Namun, jauh sebelum abad ke –17 dan ke –18, telah dikenal berbagi aturan yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia. Dalam Kode Hukum Hammurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 SM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat dirinya, sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya dan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dalam hukum ini dijelaskan bahwa hukuman pembalasan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Kedudukan dan kebebasan kaum wanita diakui sama dengan kaum lelaki. Pihak suami dan istri tidak boleh menggagalkan perkawinan yang sudah dijalaninya atau yang sedang berlangsung. Adapun bagi pelaku zina dikenakan hukuman mati. Seseorang akan dikenakan sanksi pidana apabila ia membangun rumah sedemikian gegabahnya, sehingga runtuh dan menyebabkan orang lain cedera.
Pada zaman Yunani Kuno, Plato (42-347 SM) telah memaklumkan kepada warganya, bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalau setiap warganya melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing. Juga Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberikan wejangan kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Dalam akar budaya masyarakat Indonesia pun, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan martabat manusia sudah mulai berkembang. Misalnya, dalam masyarakat Jawa kuna telah dikenal istilah “Hak Pepe”, yaitu hak warga desa yang diakui dan dihormati oleh penguasa setempat, seperti hak mengemukakan pendapat, walaupun hak tersebut bertentangan dengan kemauan penguasa.
Piagam Madinah juga mengatur tentang hak-hak asasi manusia (HAM). Dalam Piagam ini dijelaskan bahwa umat Islam diikat dengan tali ikatan agama, bukan berdasarkan suku, asal-ususl, ras dan kedudukan sosial (pasal 1). Kaum Yahudi adalah salah satu umat yang peralel, berdampingan dengan kaum mukmin, dan bebas menjalankan agama mereka, seperti halnya kaum muslim (pasal 25). Orang Yahudi juga berhak mendapat pertolongan dan santunan, sepanjang hak-hak kaum muslim tidak terganggu (pasal 16). Sesama muslim tidak boleh saling membunuh (pasal 14). Tidak ada perbedaan di antara suku-suku yang ada mereka sederajat (pasal 26-35).
Bagi bangsa Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) adalah kewajiban bersama. Hal ini sesuai dengan tuntutan nilai-nilai falsafah Pancasila. Semua sila dalam falsafah itu melahirkan kewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi, khususnya sila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran tentang HAM dikalangan masyarakat luas masih merupakan masalah .
Dalam UUD 1945 juga dijelaskan beberapa prinsip dasar tentang HAM . Pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 misalnya, dinyatakan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan karenanya segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Hak-hak tiap warga negara sama didepan hukum, hak atas pekerjaan dan penghitungan yang layak (pasal 27), hak kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, baik lisan maupun tulisan (pasal 28), kebebasan dalam beragama (pasal 29), hak mendapatkan pendidikan (pasal 31, dan hak untuk mendapatkan layanan dan perlindungan kesejahteraan sosial (pasal 34) .
Ide hak-hak asasi manusia juga terdapat dalam Islam. hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam, menurut Harun Nasution, mengandung arti bahwa yang ada hanya satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah SWT, tiada Pencipta selain Allah SWT). Seluruh alam dan semua yang ada diatas, dipermukaan, dan di dalam bumi adalah ciptaan Yang Maha Esa. Semuanya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda tak bernyawa berasal dari Yang Maha Esa .
E. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan berdasarkan kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat.Namun bila tujuan hukum Islam dilihat dari ketetapan hukum yang dibuat oleh Allah dan Nabi Muhammad, baik yang termuat di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits, yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia didunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah serta menolak segala yang tidak berguna kepada kehidupan manusia. Dengan kata lain tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia baik jasmani maupun rohani individu dan masyarakat. Kemaslahatan dimaksud, dirumuskan oleh Abu Ishak Asy-Syathibi dan disepakati oleh ahli hukum Islam lainnya seperti yang telah dikutip oleh H.Hakam Haq, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
F. Asas-asas dalam Hukum Pidana Islam
1. Azas Legalitas
Asas Lealitas adalah tidakada larangan atau hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya.
Sejak empat belas abad yang lalu Islam sudah menerpkan asas legalitas yaitu sejak zaman nabi Muhammad saw , hal ini disebut dalam :
Q.s. asy-syura 208 yang berbunyi : “ dan kami tidak membinasakan suatu negripun melainkan sudah ada bagiannya yang memberi peringatan” dan
Q.s. al-qashas 59 yang berbunyi “ dan tidak adalah tuhanmu membinasakan, kota-kota sebelum dia mengutus diibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah pula kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kedzaliman”. .
Dua ayat tersebut menjadi azas legalitas yang mana suatu Negara atau kota yang tidak ada yang memperingati atau membacakan ayat-ayat dan tidak ada yang melakukan kedzaliman maka Negara atau kota itu tidak boleh menerapkan hukuman pidana, baik itu hudud,qishas, diyat atau ta’zir.
2. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu.
3. Asas larangan memindahkan kesalahan terhadap orang lain
Asas ini menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia baik itu perbuatan yang baik atau buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
G. Macam-Macam Jarimah
Dalam hukum pidana islam ada empat macam jenis jarimah:
1. Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata .Yang termasuk jarimah ini ialah
a. Zina adalah melakukan hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang syah secara syara'. Zina merupakan salah satu dosa besar.
1) Penetapan Perbuatan zina
Hukum bagi pelaku zina dapat diterapkan jika yang bersangkutan benar-benar melakukannya. Dalam masalah ini Rasulullah SAW benar-benar berhati-hati dalam mentetapkan hukuman ini. Hukuman tida dijatuhkan sebelum yakin bahwa bahwa orang yang dituduh atau mengaku zina benar-benar melakukanya.
2) Beberapa dasar untuk menetapkan suatu perbuatan zina:
• Empat orang saksi yang adil. (An Nisa' ayat 15)
• Pengakuan Pelaku.
Dari Jabir bin abdullah Al-Anshari ra. bahwa seorang laki-laki dari aslam datang kepada rasulullah SAW da menceritakan bahwa dia telah berzina. Pengakuannya ini diucapkan empat kali. Kemudian Rasulullah menyuruh supaya orang itu dirajam, maka ia pun dirajam dan orang itu telah mukhson.
Jumhur ulama berpendapat bahwa kehamilan saja belum dapat dijadikan dasar penetapan perbuatan zina.
3) had zina dapat dijatuhkan jika pelakunya memenuhi syarat:
• Pelakunya sudah baligh dan berakal
• Perbautan zina dilakukan atas kemauan sendiri
• Pelakunya mengetahu bahwa zina adalah haram
• Terbukti secara syar'i bahwa ia benar-beanr melakukan zina
4) Bentuk had Zina
Had untuk zina :
a) Rajam , yaitu hukuman mati dengan dilempari batu hingga meninggal.
Had ini dijatuhkan pada pelaku mukshon (sudah pernah menikah dan bersetubuh). Hal ini diterangkan dalam sebuah khabar dari umar bahwa diantara ayat yag diturunkan kepada nabi adalah ayat tentang rajam. Ayat rajam yang dimaksud lafasznya telah di mansukh tetapi hukumnya tetap berlaku. Bunyi ayat tersebut yaitu :الشيخ و الشيخة إذا زنيا فارجموهما البتة نكالا من الله و الله عليم حكيم
Artinya: " Apabila laki-laki dan perempuan tua (sudah enikah) berzina maka rajamlah keduanya sampai mati sebagai peringatan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi Bijaksana." (HR Ahmad)
Yang dimasud Mukhsan adalah orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
• Merdeka
• Baligh
• Berakal
• Pernah bercampur dengan suami/istri dalam perkawinan yang sah.
b) Dera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Had ini diberlakukan bagi pelaku zina yang belum pernah bercampur dalam perkawinan yang sah. Berdasarkan Q.S. AnNur ayat 2. dan juga hadist:" Dari zaid bin khalid al Juhaini dia berata: " Saya mendengar abi menyuruh aagar orang yang berzina dan dia bukan mukhsan didera seratus kali dan diasingkan selam satu tahun."(HR Bukhari)
c) Dera 50 kali dan diasingkan selama 1/2 tahun, yaitu jika pelakuadalah hamba sahaya. Berdasarkan Q.S. AnNisa' ayat 25.
b. Menuduh zina (al-Qadaf)
Qadzaf secara bahasa artinya adalah melempar. Dalam istilah fiqh yang dimaksud qadzaf adalah melemparkan tuduhan berzina dengan terang-terangan.
Allah SWT berfirman dalam surat Annur ayat 23; yang artinya kurang lebih:" Sesungghnya orang-orang yang menuduh (berzina) wanita yang baik-baik, yang lengah (dari perbuatan keji) lagi beriman, mereka mendapat laknat di dunia dan akhirat dan bagi mereka azab yang besar."
1) Had Qadzaf.
Bagi pelaku yang menuduh seseorang yang beriman berzina maka diancam dengan hukuman dera 80 kali jika ia merdeka dam 40 kali jika ia hamba sahaya, jika kesaksiannya tidak diterima.
Sesuai dengan Q.S. An Nur ayat 4 yang artinya kurang lebih: " dan orang-orang yang meuduh wanita yang baik-baik (Muhsonaati) berbuat zina dan mereka tidakmendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka dengan delpn puluh kali dera."
dan juga Q.S An Nur ayat 25 ;" Dan apabila mereka(budak) telah kawin danmelakukan zina maka atas mereka separo hukuman dari yang diberikan pada wanita-wanita yang merdeka yang sudah bersuami."
2) Gugurnya had Qadzaf
a) Penuduh dapat membuktikan dengan empat orang saksi bahwa tertuduh telah benar-benar berzina.
b) Dengan cara li'an jika tertuduh adalah istri penuduh
c) Pengakuan dari si tertuduh bahwa tuduhan adalah benar.
c. Minum (Khamr): Al maidah 90 dan hadist
Q.S. Al- maidah [5]:90 Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
d. Pencurian (al-Sariqah): Al Maidah 38
Pencurian adalah suatu perbuatan mukalaf mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dan mencapai satu nishab dan orang yang mencuri tiak emmpunyai andil kepemilikan terhadap barang tersebut.
Dari definisi diatas, dapat dirumuskan bahwa pencurian yang dikenakan hada harus memenuhi unsur-unsur:
1) Mengambil harta orang lain
2) Pengambilannya secara sembunyi-sembunyi
3) Harta itu disimpan di tempat pnyimpanannya.
4) Pelaku adalah mukallaf
5) Barang yang dicuri mencapai satu nishab
6) Pelaku tidak mempunyai andil kepemilikan atas harta yang dicuri
e. Perampokan (Hirabah): almaidah 33
f. Murtad (al-Riddah): Ali Imran 85 dan Al Baqarah 217
g. Albaghyu : Al hujurat 9 dan Hadist
2. Jarimah Qisas, adalah jarimah yang hukumannya sama dengan jarimah yang dilakukan. Yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan dengan sengaja dan penganiayaan dengan sengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
Jarimah Diyat, adalah jarimah yang hukumannya ganti rugi atas penderitaan yang dialami si korban atau keluarganya, yang termasuk jarimah ini ialah pembunuhan tak disengaja yang mengakibatkan terpotongnya atau terlukanya anggota badan.
a. Pembunuhan sengaja: Al ISra 33, AL Baqarah 178 dan hadist
Q.S.Al-baqarah[2]: 178
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih
b. Pembunuhan semi-sengaja : Hadist
” sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai segaja ( pembunuhan dengan cambukdan tongkat ) adalah seratus ekor onta, diantara empat puluh ekor yang didalam perutnya ada anaknya”.
c. Pembunuhan tidak sengaja: An Nissa' 92 dan Hadist
Q.S.an-Nisa’[4]:92
Artinya: dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Jarimah Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut.
Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu :
a. Jarimah hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga.
b. Jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah.
c. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.
H. ALAT-ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA ISLAM
Di dalam upaya penegakkan hukum, pembuktian merupakan aspek yang sangat penting. Sebab kepada akurasi atau kecermatan upaya pembuktian itulah keadilan yang ingin diwujudkan melalui penegakkan hukum sangat bergantung. Pembuktian yang akurat adalah jalan menuju tegaknya keadilan. Sebaliknya, dari pembuktian yang tidak akurat akan lahir ketidakadilan. Untuk melaksanakan perintah mewujudkan keadilah tersebut diperlukan pembuktian yang akurat, maka para hakim harus melakukan pembuktian yang akurat itu dengan menghimpun sebanyak mungkin alat bukti agar vonis bersalah atau tidak bersalah yang dijatuhkan kepada pihak yang sedang diadili benar-benar memenuhi kualifikasi adil.
Pada dasarnya alat-alat bukti yang dipergunakan dalam perkara pidana Islam adalah sebagai berikut:
1. Pengakuan
Pengakuan (الاقرار) menurut arti bahasa adalah penetapan. Sedangkan menurut syara’, pengakuan didefinisikan sebagai berikut:
الاقرار شرعا هو الاخبار عن حق اوالاعتراف به
Pengakuan menurut syara’ adalah suatu pernyataan yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut.
Dasar hukum tentang iqrar (pengakuan) ini terdapat dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’. Adapun sumber dari Al-Qur’an tercantum dalam surat An-Nisa ayat 135 :
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…”
Sumber hukum dari sunnah terdapat di dalam hadits Ma’iz yang datang kepada Nabi mengakui perbuatannya, dan hadits tentang kisah Al-‘Asif. Dalam hadits Al-‘Asif, Nabi bersabda:
واغديا انيس لرجل من اسلم الى امراة هدا فان اعترفت فارجمها
Artinya:
“…Dan pergilah kamu hai Unais yang memeriksa istrinya laki-laki ini, apabila ia mengaku (berzina) maka rajamlah ia.“(Muttafaq alaih)
Di samping Al-Qur’an dan sunnah, para ulama bahkan semua umat Islam telah sepakat tentang keabsahan pengakuan, karena pengakuan merupakan suatu pernyataan yang dapat menghilangkan keraguan dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut. Alasan lain adalah bahwa seorang yang berakal sehat tidak akan melakukan kebohongan yang akibatnya dapat merugikan dirinya. Karena itu, pengakuan lebih kuat daripada persaksian, dan dapat digunakan sebagai alat bukti untuk semua jenis tindak pidana.
Pengakuan yang dapat diterima sebagai alat bukti adalah pengakuan yang jelas, terperinci, dan pasti, sehingga tidak bisa ditafsirkan lain. Berbagai aspek yang berkaitan dengan tindak pidana pembunuhan misalnya, seperti caranya, alatnya, motifnya, tempat, dan waktunya harus diungkapkan secara jelas oleh orang yang mengaku melakukan perbuatan tersebut.
Di samping itu, syarat yang lain untuk sahnya pengakuan adalah bahwa pengakuan harus benar dan tidak dipaksa (terpaksa). Pengakuan yang demikian harus timbul dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan (pilihan). Dengan demikian, pengakuan yang datang dari orang gila atau hilang akalnya dan yang dipaksa, hukumnya tidak sah dan tidak dapat diterima.
Dalam perkara zina, syarat-syarat dari pembuktian dengan pengakuan antara lain :
a. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, pengakuan harus dinyatakan sebanyak empat kali, dengan mengqiyaskannnya kepada empat orang saksi dan beralasan dengan hadits Ma’iz yang menjelaskan tentang pengakuannya sebanyak empat kali di hadapan Rasulullah saw. bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Akan tetapi, Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengakuan itu cukup satu kali saja tanpa diulang-ulang. Alasannya adalah bahwa pengakuan ini merupakan suatu pemberitahuan, dan pemberitahuan tidak akan bertambah dengan cara diulang-ulang.
b. Pengakuan harus terperinci dan menjelaskan tentang hakikat perbuatan, sehingga dapat menghilangkan syubhat (ketidakjelasan) dalam perbuatan zina tersebut.
c. Pengakuan harus sah atau benar, dan hal ini tidak mungkin timbul kecuali dari orang yang berakal dan mempunyai kebebasan. Dengan perkataan lain, orang yang memberikan pengakuan haruslah orang yang berakal dan mempunyai pilihan (kebebasan), tidak gila, dan tidak dipaksa.
d. Imam Abu Hanifah mensyaratkan bahwa pengakuan harus dinyatakan dalam sidang pengadilan. Apabila dilakukan di luar sidang pengadilan maka pengakuan tersebut tidak diterima.
Dalam jarimah pencurian dan hirabah, menurut Zahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali.
2. Persaksian
Pengertian persaksian (الشهادة), sebagaimana dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
وهى اخبار صادق لإثبا ت حق بلفظ السها دة فى مجلس القضاء
Persaksian adalah suatu pemberitahuan (pernyataan) yang benar untuk membuktikan suatu kebenaran dengan lafaz syahadat di depan pengadilan.
Dasar hukum untuk persaksian sebagai alat bukti terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
“…Dan persaksikanlah dengan dau orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka (boleh) seorang lelaki dan ddua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya.”
Sumber dari sunnah antara lain tercantum dari hadits Amr ibn Syu’aib:
“ Dari ‘Amr ibn Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa anaknya Muhaishah yang paling kecil diketemukan terbunuh di pintu Khaibar maka Rasulullah saw., bersabda: “ Ajukanlah dua orang saksi atas orang yang membunuhnya, nanti saya berikan kepadamu tambang untuk mengqishasnya..(HR. Nasa’i)
Untuk jarimah yang hukumannya qishas, menurut jumhur fuqaha, pembuktiannya harus dengan dua orang saksi laki-laki, dan tidak boleh dengan seorang saksi laki-laki dan dua perempuan, atau seorang saksi laki-laki ditambah sumpahnya korban.
Pada jarimah zina, ulama telah sepakat bahwa pembuktiannya harus dengan empat orang saksi. Apabila saksi tiu kurang dari empat maka persaksian tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi semata-mata dan tidak ada bukti-bukti yang lain.
Akan tetapi tidak setiap orang bisa diterima untuk menjadi saksi. Mereka yang diterima sebagai saksi adalah orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Baligh (dewasa)
Setiap saksi dalam setiap jarimah harus baligh. Apabila belum baligh maka persaksiannya tidak dapat diterima.
b. Berakal
Seorang saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah orang yang mengetahui kewajiban pokok dan yang bukan, yang mungkin dan tidak mungkin, serta mudarat dan manfaat. Dengan demikian, persaksian orang yang gila dan kurang sempurna akalnya tidak dapat diterima.
c. Kuat ingatan
seorang saksi harus mampu mengingat apa yang disaksikannya dan memahami serta menganalisis apa yang dilihatnya, disamping dapat dipercaya apa yang dikatakannya. Dengan demikian, apabila pelupa, persaksiannya tidak dapat diterima. Alasan tidak dapat diterimanya persaksian dari orang yang pelupa adalah karena orang yang pelupa itu, apa yang dikatakannya tidak bisa dipercaya sehingga kemungkinan terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam persaksiannya.
d. Dapat berbicara
Apabila ia bisu, status persaksiannya diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Maliki, persaksian orang yang bisu dapat diterima apabila isyaratnya dapat dipahami. Menurut mazhab Hanbali, orang yang bisu persaksiannya tidak bisa diterima, walaupun isyaratnya dapat dipahami kecuali apabila ia dapat menulis. Sebagian ulama syafi’iyah dapat menerima persaksian orang yang bisu, karena isyaratnya sama seperti ucapan, sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah dan talak. Akan tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa persaksian orang yang bisu tidak dapat diterima, karena isyarat yang menggantikan ucapan itu hanya berlaku dalam keadaan darurat.
e. Dapat melihat
Apabila saksi tersebut orang yang buta maka para ulama berselisih pendapat tentang diterimanya persaksian tersebut. Menurut kelompok Hanafiyah, persaksian orang yang buta tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat melaksanakan persaksian, saksi harus dapat menunjukkan objek yang disaksikannya. Disamping itu, orang yang buta hanya dapat membedakan sesuatu dengan pendengarannya.
Golongan Malikiyah menerima persaksian orang yang buta dalam masalah yang berkaitan dengan ucapan yang dapat diketahui dengan pendengaran, asal ia tidak ragu-ragu dan ia menyakini objek yang disaksikannya. Apabila ragu maka persaksiannya tidak sah. Adapun dalam masalah-masalah yang harus dilihat dengan mata maka persaksian orang yang buta tidak dapat diterima. Pendapat Malikiyah ini pada umumnya sama dengan pendapat Syafi’iyah.
f. Adil
Pengertian adil menurut Malikiyah adalah selalu memelihara agama dengan jalan menjauhi dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan amanat dan bermuamalah dengan baik. Ini tidak berarti tidak melakukan maksiat sama sekali, karena hal itu tidak mungkin bagi manusia biasa. Hanafiyah berpendapat bahwa adil itu adalah konsisten melaksanakan ajaran agama (Islam), mendahulukan pertimbangan akal daripada hawa nafsu.
g. Islam
Dengan demikian, persaksian orang yang bukan Islam tidak dapat diterima, baik untuk perkara orang muslim maupun perkara non muslim. Hal ini merupakan prinsip yang diterima semua fuqaha. Akan tetapi, terhadap prinsip yang sudah disepakati ini terdapat dua pengecualian sebagai berikut.
1) Persaksian orang bukan Islam terhadap perkara orang bukan Islam
Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian orang kafir dzimmi atas perkara sesamanya dan orang kafir harbi atas perkara sesamanya dapat diterima. Hal ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah saw. yang memperkenankan persaksian orang Nasrani atas perkara sesama mereka. Akan tetapi, Malikiyah dan Syafi’iyah menolak sama sekali persaksian orang yang bukan Islam secara mutlak, baik perkara orang Islam maupun perkara bukan Islam.
2) Persaksian nonmuslim atas perkara muslim dalam hal wasiat di perjalanan
Golongan Hanabilah berpendapat bahwa apabila golongan seorang muslim yang sedang berpergian meninggal dan berwasiat dengan disaksikan oleh orang-orang bukan muslim maka persaksian mereka dapat diterima, apabila tidak ada orang lain yang beragama Islam.
Pendapat Zhahiriyah dalam hal ini sama dengan pendapat Hanabilah. Akan tetapi Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafi’iyah, serta Zaidiyah tidak menerima persaksian orang non muslim dalam kasus ini, karena orang fasik saja tidak diterima, apalagi orang kafir.
3. Qarinah
Pengertian qarinah menurut Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut:
القرينة هى كل أمارة تقارن شيئا خفيا فتدل عليه
Qarinah adalah setiap tanda (petunjuk) yang jelas yang menyertai sesuatu yang samar, sehingga tanda tersebut menunjukkan kepadanya.
Qarinah atau tanda yang dianggap sebagai alat pembuktian dalam jarimah zina adalah timbulnya kehamilan pada seorang wanita yang tidak bersuami, atau tidak diketahui suaminya. Sebenarnya kehamilan semata-mata bukan merupakan qarinah yang pasti atas terjadinya perbuatan zina, karena mungkin saja kehamilan tersebut terjadi akibat perkosaan. Oleh karena itu, apabila terdapat syubhat dalam terjadinya zina tersebut maka hukuman had menjadi gugur.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, apabila tidak ada bukti lain untuk jarimah zina selain kehamilan maka apabila wanita itu mengaku bahwa ia dipaksa, atau persetubuhan terjadi karena syubhat maka tidak ada hukuman had baginya. Demikian pula apabila tidak mengaku dipaksa atau tidak pula mengaku terjadi syubhat dalam persetubuhannya maka ia tidak juga dikenai hukuman had, selama ia tidak mengaku berbuat zina, karena hukuman had itu harus dibuktikan dengan saksi atau pengakuan.
Pada jarimah Syurbul Khamr, pembuktian qarinah dapat dilihat dari bau minuman dari mulut orang yang meminum khamr, mabuk, dan muntah.
4. Data Forensik
Dalam imu kedokteran dikenal adanya Kedokteran Forensik yaitu cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum; atau ilmu bedah yang berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya dengan kehakiman dan peradilan.
Melalui ilmu kedokteran forensik dapat diketahui telah telah terjadi kejahatan atau tidak, misalnya jarimah perzinaan. Penemuan itu dapat berupa diketahuinya: selaput dara yang robek, atau tanda memar pada alat kelamin, diketahuinya golongan darah si pelaku, diketahuinya jenis kromosom atau genetik, diperolehnya bukti kehamilan sampai diketahuinya dan didapatkannya bukti DNA yaitu inti sel yang terdapat pada sel darah putih yang spesifik pada setiap orang.
Jadi pembuktian melalui ilmu kedoktran forensik dapat dikatakan sama kuatnya dengan bukti melalui penglihatan mata telanjang secara tradisional. Dalam laporan visum et repertum (keterangan atau keterangan ahli) dokter yang melakukan pemeriksaan forensik melaporakan hasil penglihatannya atas barang bukti yang diperiksa secara lengkap dengan ciri-ciri hasil pemeriksaannya.
Oleh karena itu, kualitas hasil penelitian ilmu pengetahuan Kedokteran Forensik dapat dipertimbangkan menjadi alat bantu pembuktian perkara pidana Islam.
Langganan:
Postingan (Atom)