Rabu, 13 Agustus 2014

KISAH TUKANG BAKSO

Di suatu senja sepulang kantor, saya masih
berkesempatan untuk ngurus tanaman di
depan rumah, sambil memperhatikan
beberapa anak asuh yang sedang belajar
menggambar peta, juga mewarnai.. Hujan
rintik-rintik selalu menyertai di setiap sore di
musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah
kotor….. terdengar suara tek…tekk.. .tek…
suara tukang bakso dorong
lewat. Sambil menyeka keringat…, ku
hentikan tukang bakso itu dan memesan
beberapa mangkok bakso setelah menanyakan
anak-anak, siapa yang mau bakso?
“Mauuuuuuuuu..”, secara serempak dan
kompak anak-anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya.

Ada satu hal yang menggelitik fikiranku
selama ini ketika saya membayarnya, si
tukang bakso memisahkan uang yang
diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang
satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas
kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya
atas rasa penasaranku selama ini.
“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang-uang itu
pisahkan? Barangkali ada tujuan?”
“Iya pak, memang sengaja saya memisahkan
uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah
berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya
sederhana saja, hanya ingin memisahkan
mana yang menjadi hak saya, mana yang
menjadi hak orang lain / amal ibadah, dan
mana yang menjadi hak cita-cita
penyempurnaan iman seorang muslim”.
“Maksudnya…?”, saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan islam menganjurkan
kita agar bisa berbagi dengan sesama.

Sengaja
saya membagi 3 tempat, dengan pembagian
sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya
untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari
untuk keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk
infaq /sedekah, atau untuk melaksanakan
ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17
tahun menjadi tukang bakso saya selalu ikut
qurban seekor kambing, meskipun
kambingnya yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena saya
ingin menyempurnakan agama yang saya
pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada
umatnya yang mampu untuk melaksanakan
ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya
yang besar, Maka kami sepakat dengan istri
bahwa di setiap penghasilan harian hasil
jualan bakso ini kami harus menyisihkan
sebagian penghasilan sebagai tabungan haji..

Dan insya Allah selama 17 tahun menabung,
sekitar 2 tahun lagi saya dan istri akan
melaksanakan ibadah haji.
Hatiku sangat… sangat tersentuh mendengar
jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban
sederhana yang sangat mulia. Bahkan
mungkin kita yang memiliki nasib sedikit
lebih baik dari si tukang bakso tersebut,
belum tentu memiliki fikiran dan rencana
indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali
berlindung di balik tidak mampu atau belum
ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan,
sebagai berikut : “Iya tapi kan ibadah haji itu
hanya diwajibkan bagi yang mampu…?
termasuk memiliki kemampuan dalam
biaya…?

Ia menjawab, “Itulah sebabnya Pak, justru
kami malu kepada Tuhan kalau bicara soal
Rezeki karena kami sudah diberi Rizky.
Semua orang pasti mampu kok kalau memang
niat..?

Menurut saya definisi “mampu” adalah
sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan
untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita
mendefinisikan diri sendiri ebagai orang
tidak mampu, maka mungkin selamanya kita
akan menjadi manusia tidak mampu.
Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri
sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan
segala kekuasaan dan kewenangannya Allah
akan memberi kemampuan pada kita kok.
“Masya Allah… sebuah jawaban dari seorang tukang bakso”.

Sahabat…..

Cerita perjalanan spiritual ini sangat
sederhana dan jadi inspirasi. Semoga
memberi hikmah terbaik bagi kehidupan kita.
Amien……..

Dalam hadits Qudsi,
“Sesungguhnya Allah berfirman: Aku akan
mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku” (HR. Bukhari Muslim).

"Jangan mati-matian mengejar sesuatu yang tidak bisa dibawa mati."

#Repost
#MenggugahBanget
#SelfReminder

Tidak ada komentar: